Hak dan Perlindungan Pekerja Perempuan sesuai Undang-Undang
Dua masalah terbesar yang masih dihadapi pekerja perempuan di lingkungan kerja hingga saat ini adalah diskriminasi dan kekerasan (pelecehan) seksual. Itu sebabnya isu perlindungan pekerja perempuan masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah.
Contoh diskriminasi paling umum adalah kesenjangan upah gender, di mana pekerja perempuan menerima upah lebih rendah dari pekerja laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama. Data Badan Pusat Statistik tahun 2022 menyebutkan kesenjangan upah gender (gender wage gap) rata-rata adalah 22,09%.
Sedangkan, data Komisi Nasional Perempuan menyebutkan jumlah kasus kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja tahun 2022 masih cukup tinggi, yakni 324 kasus dengan 384 korban. Sementara, survei ILO mencatat 70,93% dari 1.173 responden pernah mengalami kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja.
Kesetaraan di tempat kerja
Hak kesetaraan terkait dengan penghapusan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin di tempat kerja. UUD 1945 telah menjamin hak kesetaraan di Pasal 281 ayat 2 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat “diskriminatif atas dasar apa pun”.
Dengan demikian, tidak boleh ada diskriminasi atas dasar gender. Di lingkungan kerja, perempuan dan laki-laki harus diperlakukan sama dalam hal:
1. Kesempatan memperoleh pekerjaan
Perusahaan tidak boleh membedakan kandidat laki-laki dan perempuan dalam rekrutmen, kecuali didasarkan pada aspek pengalaman dan kompetensi. Bias gender bukan saja merupakan bentuk diskriminasi, tetapi juga dapat menyebabkan perusahaan gagal mempekerjakan bakat terbaik.
Konstitusi RI, UUD 1945, Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Artinya, laki-laki dan perempuan punya hak sama untuk memperoleh pekerjaan.
Baca Juga: Struktur dan Jenis Aturan Ketenagakerjaan Terbaru, HR Wajib Tahu
2. Mendapatkan upah
Dalam UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 di Pasal 88 A yang disisipkan oleh UU Cipta Kerja, ditegaskan bahwa setiap pekerja berhak memperoleh upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya. Berdasarkan ketentuan tersebut, seharusnya perusahaan tidak boleh membedakan besaran upah berdasarkan jenis kelamin.
Namun, faktanya masih banyak karyawan perempuan yang diupah lebih rendah dari karyawan laki-laki untuk jenis dan nilai pekerjaan yang sama. Dari data BPS tahun 2021, kesenjangan upah karyawan perempuan dan laki-laki paling tinggi terjadi di sektor jasa, yakni 43%.
3. Peluang untuk berkembang
Karyawan laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk mengembangkan karier, promosi, dan menjadi pemimpin di dalam organisasi perusahaan. Namun, faktanya dalam struktur organisasi bisnis, perempuan lebih banyak menjadi tenaga kerja di level bawah, dan hanya sedikit yang menjalankan fungsi kepemimpinan.
Data BPS tahun 2021 menyebutkan, dari 51,79 juta pekerja perempuan di Indonesia, hanya 0,7% yang menduduki kepemimpinan. Persentase terbesar adalah tenaga penjualan (sales) sebanyak 28,6%.
Maternitas dalam pekerjaan
Hak karyawan perempuan yang juga dijamin UU adalah hak maternitas yang melekat secara biologis karena menjalankan fungsi reproduksi, seperti hamil, melahirkan, dan menyusui. Sehingga, pemberi kerja diwajibkan memberikan perlakuan khusus agar tidak mengganggu atau membahayakan kesehatan karyawan perempuan yang bersangkutan.
Perlindungan hak perempuan terkait maternitas meliputi:
1. Cuti haid
Karyawan perempuan yang mengalami sakit pada saat haid hari pertama dan kedua, dan memberitahukan kepada pemberi kerja, tidak wajib melakukan pekerjaan selama 2 hari dan tetap diupah. Ketentuannya ada di Pasal 81 dan Pasal 93 ayat 2 huruf b UU Ketenagakerjaan.
Baca Juga: Apakah Karyawan Cuti Melahirkan Dapat THR Secara Penuh?
2. Cuti melahirkan/keguguran
Karyawan yang hamil dan akan melahirkan berhak memperoleh istirahat selama 3 bulan untuk persalinan, yakni 1,5 bulan sebelum persalinan dan 1,5 bulan sesudah persalinan. Apabila mengalami keguguran, karyawan perempuan bersangkutan berhak istirahat 1,5 bulan atau sesuai surat keterangan dokter atau bidan. Aturannya tercantum di Pasal 82 UU Ketenagakerjaan.
3. Hak menyusui
UU Ketenagakerjaan Pasal 83 menyebutkan bahwa pekerja perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Berdasarkan Peraturan Bersama Tiga Menteri (PPPA, Ketenagakerjaan, dan Kesehatan) 2008 tentang Peningkatan Pemberian ASI Selama Waktu Kerja, pengusaha wajib menyediakan ruang menyusui atau ruang laktasi sesuai dengan standar kesehatan. Ketentuan yang sama juga ditegaskan dalam Permenkes No 15/2013.
4. Larangan PHK karena alasan maternitas
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada karyawan perempuan karena alasan menikah, hamil, melahirkan/keguguran, atau menyusui anak. Ketentuan larangan PHK diatur dalam Pasal 153 ayat 1 huruf e dan d.
Apabila perjanjian kerja menyebutkan karyawan perempuan dilarang menikah, hamil, melahirkan, dan menyusui untuk jangka waktu tertentu, maka aturan tersebut batal demi hukum karena bertentangan dengan UU.
Baca Juga: 7 Poin Penting tentang Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
Keamanan dan keselamatan kerja
UU Ketenagakerjaan Pasal 86 menyatakan bahwa setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan kerja dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat serta nilai-nilai agama.
Oleh sebab itu, karyawan perempuan berhak memperoleh perlindungan di lingkungan kerja dari risiko kecelakaan kerja, penyakit karena pekerjaan, atau dari segala bentuk gangguan, ancaman, dan tindakan kekerasan bersifat fisik, psikis, atau seksual.
1. Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan
Peraturan Menteri PPPA No 1 Tahun 2020 yang diperbarui dengan Peraturan Menteri PPPA No 1 Tahun 2023 mendorong instansi pemerintah dan perusahaan yang mempekerjakan karyawan perempuan untuk menyediakan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3) di tempat kerja.
Tujuan RP3 adalah memberikan layanan pencegahan kekerasan terhadap pekerja perempuan, menerima aduan dan melakukan tindak lanjut, serta pendampingan korban. RP3 ini merupakan upaya perlindungan pekerja perempuan dari berbagai masalah ketenagakerjaan yang berkaitan dengan diskriminasi, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
2. Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja mewajibkan perusahaan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, yang beranggotakan perwakilan pengusaha dan perwakilan pekerja atau serikat pekerja.
Satgas bertugas menyusun dan menjalankan program pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja, menerima aduan, mengumpulkan informasi, memberikan pertimbangan penyelesaian kepada korban dan perusahaan, dan melakukan pendampingan.
3. Jaminan keamanan dan keselamatan bekerja malam hari
Karyawan perempuan yang paling berisiko adalah mereka yang bekerja pada malam hari, baik yang bekerja lembur maupun shift. Untuk itu, pemerintah telah membuat aturan lembur karyawan perempuan atau aturan shift malam karyawan perempuan, yang disebutkan di Pasal 76 UU Ketenagakerjaan serta Pasal 5 dan 7 Kepmenakertrans No 224/2003.
Apabila mempekerjakan karyawan perempuan lembur atau shift di antara pukul 23.00 sampai pukul 07.00, maka pengusaha wajib mengikuti aturan di bawah ini:
- Dilarang mempekerjakan karyawan perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun di antara waktu tersebut.
- Dilarang memperkerjakan karyawan perempuan hamil yang menurut keterangan dokter membahayakan kesehatan dan keselamatan kandungan maupun diri karyawan.
- Wajib memberikan makanan dan minuman bergizi.
- Wajib menjaga kesusilaan dan keamanan karyawan perempuan di tempat kerja dengan menyediakan petugas keamanan di tempat kerja dan menyediakan kamar mandi/toilet yang layak dan terpisah untuk laki-laki dan perempuan dengan penerangan yang memadai.
- Wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai pukul 05.00.
- Mengatur tempat penjemputan dan pengantaran di lokasi yang mudah dijangkau dan aman bagi pekerja perempuan, serta kendaraan antar-jemput harus dalam kondisi layak dan terdaftar di perusahaan.
Baca Juga: Bagaimana Jika Karyawan Lembur Tak Dibayar dan Dipaksa Perusahaan?
Mengatur dan memantau shift kerja dengan aplikasi
Untuk membantu meminimalkan risiko bekerja malam bagi karyawan perempuan, kamu bisa menggunakan aplikasi shift kerja Hadirr. Aplikasi ini menggunakan data real-time dan dapat memberikan visibilitas atas kehadiran dan lokasi karyawan.
Sebagai aplikasi absensi online yang mencatat kehadiran berbasis face recognition dan anti-fake GPS, Hadirr bisa mengetahui posisi karyawan saat clock-in dan clock-out. Selain itu, kamu juga bisa memonitor kinerja karyawan secara online dan melihat produktivitas mereka.
Membuat jadwal kerja dengan aplikasi pengaturan shift kerja ini cukup mudah dan praktis. Kamu hanya perlu membuat jadwal shift satu kali di awal, dan Hadirr akan mengatur jadwal selanjutnya secara otomatis. Pengaturan jadwal shift dapat dipersonalisasi sesuai kebutuhan perusahaan, baik untuk grup maupun individu.
Hadirr juga bisa menjadi aplikasi lembur karyawan. Tidak perlu surat perintah lembur kertas, perintah dan persetujuan lembur dapat dilakukan secara online. Hadirr akan mencatat kehadiran lembur dan jam lembur karyawan secara otomatis. Data jam lembur akan terakumulasi dan dapat diimpor ke aplikasi payroll online Gadjian untuk dihitung upahnya di slip gaji.
Selain absensi, lembur, dan shift kerja, Hadirr juga punya fitur menarik lainnya, yakni reimbursement, client visit, dan CRM pipeline dan monitoring sales. Jika penasaran tentang bagaimana fitur-fitur tersebut membantu pekerjaan kamu, langsung saja coba gratis atau mendaftar berlangganan aplikasi Hadirr di bawah ini.